Branding Wisata Halal menuai kontroversi, khususnya di daerah-daerah mayoritas non Muslim. Di Sumatera Utara, masyarakat Batak Toba lakukan unjuk rasa menolak daerah danau Toba dijadikan destinasi Wisata Halal.
Hal yang sama terjadi di Sulawesi Selatan. Masyarakat Toraja unjuk rasa menolak Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara dijadikan daerah Wisata Halal.
Wisata Halal: Promosi VS Esensi
Dalam bisnis, branding yang kuat berpengaruh pada promosi dan penjualan. Hal serupa berlaku pula dalam pariwisata. Branding dan promosi yang gencar akan mempengaruhi peningkatan kunjungan wisata.
Selama 2 tahun berturut-turut ikuti Internationale Tourismus-Börse (ITB), pameran pariwisata terbesar dunia yang tiap tahun diadakan di Berlin-Jerman, saya pelajari bahwa kunci kemajuan pariwisata itu bukan hanya promosi dan branding saja.
“On going tourism development” juga harus diperkuat. Pengembangan destinasi wisata yang dilakukan terus menerus wajib dilakukan. Karena disitulah “Esensi” sesungguhnya dari pariwisata.
Branding kuat dan promosi gencar tanpa disertai on going tourism development bisa kontraproduktif. Wisatawan memang datang. Tapi datangnya sekali saja, single visit. Lalu mereka kapok karena apa yang dipromosikan tidak sesuai kenyataan di lapangan.
Kita memerlukan “Repeater Guest”, wisatawan yang datang berulang-ulang karena kualitas dari destinasi wisata lebih hebat dari brand dan promosinya.
Kembali soal Wisata Halal, lebih baik jangan langsung menyentuh soal branding ini.
Perbaiki dan kembangkan dulu infrastruktur pariwisatanya. Bangun pusat-pusat wisata buatan (Man made Attraction) yang baru. Tata dan percantik destinasi wisata alam dan budaya yang telah ada. Lalu siapkan, perbaiki dan tingkatkan Akses ke destinasi wisatanya.
Tidak lupa siapkan dan latih masyarakat supaya sadar wisata. 7 unsur dalam “Sapta Pesona” (Aman, Tertib, Bersih, Sejuk, Indah, Ramah, Kenangan) adalah metode tepat melatih masyarakat supaya sadar wisata
Pada saat bersamaan, siapkan dan tingkatkan juga SDM pariwisata. Karyawan restoran dan hotel, sopir taksi, pemandu wisata, penjual souvenir dan sebagainya. Sudahkah mereka dilatih supaya siap menerima kunjungan wisatawan mancanegara? Apakah mereka cukup Ramah (hospitable) dan terlatih melayani sehingga tamu mancanegara mendapat Kenangan manis dalam kunjungannya dan ingin kembali lagi?
Untuk Wisata Halalnya sendiri, sediakanlah fasilitas dan kebutuhan keagamaan yang diperlukan. Pastikan ketersediaan musholah di tiap destinasi. Sediakan rumah makan bersertifikat halal.
Singkatnya, “Moslem Friendly Tourism Destination”. Itu lebih bijak daripada memaksakan slogan wisata halal.
Lagipula, bukankah setiap wisatawan yang mau berkunjung ke daerah atau negara lain tujuannya untuk melihat perbedaan (keindahan) alam dan budaya daerah itu?
Salam Sadar Wisata!
Oleh: Yerry Tawalujan
(Ketua Umum Gerakan Nasional Sadar Wisata – GERNASTA & Ketua Umum DPP Duta Wisata Sulawesi Utara – DWS)
Baca juga:




© 2008-2024 PT. Berita Manado Communication. All rights reserved.
© 2008-2024 PT. Berita Manado Communication. All rights reserved.

source

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Yuk, sini cerita sama Diba!
1